Jumat, 03 April 2015

Penelitian Kampanye Hitam (Black Campaign) Dan Kampanye Negatif (Negatif Campaign)

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kampanye hitam (black campaign) dan kampanye negatif (negarive campaign) yang akan menghiasi Pemilu 2014 dengan metode kualitatif. Teknik penggumpulan data berupa observasi dan studi kepustakaan. Kampanye merupakan salah satu kegiatan rutin yang dilakukan, saat menjelang suatu pemilihan umum. Berbagai cara dilakukan dalam kampanye untuk menarik simpati masyarakat, bahkan kampanye hitam dan kampanye negatif dianggap mampu membentuk opini publik untuk menciptakan citra buruk pihak lawan politik. kampanye di Indonesia dikenal istilah kampanye hitam dan kampanye negatif. Kampanye hitam, yaitu menggunakan argumentasi yang tidak didasari pada fakta dan realitas. Sedangkan kampanye negatif politisi menggunakan strategi menyerang dengan didasari fakta dan realitas. Kampanye hitam dan kampanye negatif akan menghiasai kampanye Pilpres dan Pileg 2014. Isu SARA dan korupsi akan menjadi bahan utama kampanye hitam atau kampanye negatif. Intensitas kampanye hitam dan kampanye negatif akan semakin tinggi setahun menjelang pemilu di laksanakan dan akan semakin intens terjadi secara terbuka setelah partai politik menggumumkan Daftar Caleg Sementara (DCS) bulan April mendatang. Setelah penetapan caleg, partai akan bersaing secara terbuka dengan kader-kader lain. Perang kampanye hitam dan kampanye negatif antar caleg, nanti bukan hanya yang berbeda partai, tapi juga antara caleg yang berada satu partai
Kata kunci: Black Campaign, Negarive Campaign, Kampanye.

PENDAHULIAN
            Pilpres 2014 yang menjadi ajang pertarungan capres-cawapres akan sangat rawan black campaign. Tim sukses akan memainkan strategi mengungkit dosa-dosa masa lalu lawan politik. Saat ini parpol dan figur capres yang berniat maju dalam Pilpres 2014 bukan tak mungkin sudah menyiapkan amunisi untuk menyerang figur lain. Ini tak lepas dari adanya beberapa capres yang identik dengan isu-isu negatif tertentu yang dibayangi kasus hitam. Seperti kasus-kasus pajak, kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan hilangnya sejumlah aktivis, kasus korupsi dan kasus lainnya. Black campaign dengan mengekspos kasus-kasus masa lalu capres-cawapres menjadi senjata mematikan untuk menjatuhkan lawan politik. Akan terjadi saling serang antar tim kampanye capres-cawapres.
            Namun, pada Pilpres 2014 capres-cawapres tidak akan bergerak leluasa seperti Pilpres 2009. Dalam Pilpres mendatang, praktik politik saling serang akan sangat kentara. Mereka akan saling menelanjangi, karena sekarang ini masa transisi yang tidak ada incumbent. Untuk pilpres nanti pemilih harus lebih bersikap kritis menyaring kelebihan dan kekurangan capres-cawapres. Masyarakat sekarang sudah makin cerdas, sehingga bisa membedakan kampanye negatif dan positif. Jika masyarakat sudah kritis dan cerdas, black campaign tidak akan menjual lagi. Justru bisa menjadi senjata makan tuan, karena masyarakat muak dengan capres-cawapres yang acapkali menyerang lawan. Bisa-bisa yang terlalu sering menyerang lawan tidak dipilih masyarakat. [Harian Rakyat Merdeka].
            Black campaign merupakan salah satu bentuk kegiatan propaganda politik, yang berkonotasi negatif dalam penilaian publik. Black campaign bertujuan untuk membentuk opini publik untuk citra yang buruk terhadap lawan politiknya. Black campaign hanya dinyatakan sebagai pelanggaran perdata pemilu. Padahal sebenarnya bisa saja kalau ada pihak yang mengadukan black campaign ke kepolisian dan Bawaslu, yang seperti ini bisa dikategorikan pidana pemilu, sehingga kalau terbukti bersalah, yang bersangkutan bisa dipenjara. Saat ini KPU dan Bawaslu terus meningkatkan komunikasi terus menerus. KPU dan Bawaslu bertukar informasi dan saling memberikan masukan seputar fungsi dan kewenangan kedua lembaga. Melakukan sosialisasi agar peserta pemilu tidak melakukan black campaign. Hal itu kami lakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pemilu.

KAJIAN TEORI
Kegiatan Pilkada tentu saja tidak lepas dari kegiatan berkampanye. Charles U Larson (dalam Ruslan, 2008:25-26) membagi jenis kampanye menjadi tiga jenis, yaitu kegiatan menjual produk, gagasan perubahan sosial, dan kandidat. Kampanye kandidat merupakan kampanye yang berorientasi bagi calon untuk kepentingan kampanye politik. Hal ini tentu saja berkaitan untuk mendapatkan dukungan dari pemilih atau pemegang hak suara. Namun pada kenyataannya sekarang ini banyak kegiatan kampanye yang dilakukan untuk menyerang lawan politiknya (attacking campaign). Kampanye menyerang terdapat dua jenis kampanye, yaitu black campain dan negative campaign. Black Campaign merupakan model kampanye dengan cara membuat suatu isu atau gosip yang ditujukan kepada pihak lawan, tanpa didukung fakta atau bukti yang jelas (fitnah). Sedangkan Negative Campaign merupakan model kampanye yang lebih menonjolkan dari segi kekurangan lawan politik, dan dari apa yang telah disampaikan mempunyai bukti atau fakta yang jelas.
Kampanye politik selama ini hanya dilihat sebagai suatu proses interaksi intensif dari partai politik kepada publik dari kurun waktu tertentu menjelang pemilihan umum. Dalam definisi ini, “kampanye politik adalah periode yang diberikan oleh panitia pemilu kepada semua kontestan, baik partai politik maupun perseorangan, untuk memaparkan program-program kerja dan mempengaruhi opini publik sekaligus memobilisasi masyarakat agar memberikan suara kepada mereka sewaktu pencoblosan” (Lilleker & Negrine, 2000). Selama ini banyak kalangan yang hanya mengartikan kampanye politik sebagai kampanye pemilu. Pemahaman sempit tentang kampanye politik ini membuat semua partai politik dan kontestan individu memfokuskan diri pada periode kampanye pemilu belaka. Semua usaha, pendanaan, perhatian dan energi dan energi dipusatkan untuk mempengaruhi dan memobilisasi pemilih menjelang pemilu.
            Kampanye hitam atau black campaign  merupakan salah satu bentuk kampanye pemilu dan sebagai bagian dari strategi deversifikasi politik, (Firmanzah : 2007) “image  positif yang dimiliki kandidat dapat membantu untuk meyakinkan pemilih bahwa janji serta harapan politik yang diberikan benar-benar dimaksudkan untuk perbaikan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan politis saja. Sementara itu, image yang negatif akan semakin menyulitkan kandidat yang bersangkutan untuk meyakinkan pemilih bahwa program kerja yang disampaikannya benar-benar demi perbaikan kondisi masyarakat.”
Sementara itu, black campaign pun samar-samar dalam pengertiannya. Terkadang “dicampur-sari” dengan negative campaign. Kadang membuat kita bertanya, ini black campaign atau negative campaign? – nyaris tak jelas.  Menurut Bara Hasibuan, black campaign merupakan model kampanye yang melempar isu, gosip dan sebangsanya, tanpa didukung fakta atau bukti. Berbeda dengan negative campaign yang dianggap “bersih” karena lebih menonjolkan kekurangan lawan politik, memiliki bukti atau telah terbukti. Oleh karena itu, keduanya tidak dapat disamakan. Black campaign yang diartikan kampanye hitam merupakan istilah yang sulit ditelusuri pengertiannya. Mengerti konsep, kemudian mengindentifikasi black campaign sulit dilakukan. Tetapi negative campaign yang diartikan kampanye negatif justru sebaliknya, kajian dan praktik kampanye negatif bukanlah fenomena baru, selama dekade terakhir ini telah menyebar dari AS ke berbagai tempat lain. 
            Partai Republik dan Partai Demokrat di AS merupakan contoh kampanye negatif yang cukup jelas. Mereka melakukan riset panjang dan investigasi terhadap kehidupan pribadi kandidat untuk mengungkap fakta memalukan dan gambaran paling buruk kandidat tersebut. Untuk menunjukkan kepada publik tentang semua hal mengenai kandidat tersebut. Harapannya, jika keburukan kandidat terungkap, pemilih suka atau tidak suka (logis) memilih kandidat yang lain.
            Kemudian kita berbalik untuk menilik black campaign, jika memang ini hanya dipraktekkan di Indonesia (perlu dilakukan riset lebih lanjut). Maka istilah ini cukup sesuai karena keadaan partai dan pemilu di Indonesia. Partai-partai di AS melakukan negative campaign karena diproduksi dengan riset yang panjang dan keakuratan fakta dan datanya sangat diperhatikan. Mereka menguras banyak sumber daya dan uang untuk itu. Sedangkan keadaan di Indonesia adalah sebaliknya, partai yang membentuk tim sukses menjelang pemilu, cenderung lebih mudah mem-black campaign-kan kandidat lain ketimbang melakukan negative campaign karena fakta dan data sulit dibuktikan – bahkan boleh jadi hanya “diada-adakan”. Dana kampanye tidak lebih baik untuk kampanye negatif, kalau masih ada celah untuk politik uang. Keadaan-keadaan inilah yang memungkinkan black campaign bisa terjadi. Black campaign harus dihindari, tetapi negative campaign justru perlu dipelihara. Sebab negative campaign diperlukan untuk melihat track record kandidat secara utuh, karena disampaikan secara faktual.

HASIL ANALISIS DAN DISKUSI
            Terdapat tiga jenis utama dari negative and black campign yakni (1). Ad hominem istilah latin berarti “melawan orang”. Jenis serangan ini adalah serangan terhadap pribadi lawan, cendrung tidak ada hubungan dengan kampanye, visi misi maupun kebijakan, seperti mengkampanyekan lawan politiknya dengan menyebut kelebihan berat badan, jelek, memiliki hubungan di luar nikah, keluar masuk kafe dengan wanita lain. (2). Policy attacks merupakan jenis kampanye yang menyerang kebijakan dan program lawan yang tidak tepat dan tidak dibutuhkan oleh masyarakat luas. Dalam prakteknya serangan ini biasanya dilakukan dengan membandingkan kebijakan dan janji-janji lawan politik, kemudian membandingkannya dengan kebijakan dirinya (sebagai calon) dan memperlihatkan kepada halayak kejelakan kebijakan lawan. (3). Character attacks merupakan serangan karakter terhadap lawan. 
            Dari tiga jenis utama negative and black campign tersebut di atas, ad Hominem attacks adalah jenis serangan yang tidak etis dan kontra produktif dan harus dihindari dalam setiap kampanye Para kandidat sebaiknya menggunakan serangan kebijakan dan program untuk kesejahteraan rakyat (berfokus pada tema-tema positif yang mempromosikan diri mereka sendiri). Operasi politik professional percaya bahwa policy attacks merupakan serangan yang etis dan produktif dalam kampanye politik. Serangan character attacks menunjukan bahwa hal-hal tertentu dalam hidup lawan politik saat ini atau masa lalu membuat dia tidak layak untuk posisi yang mereka incar saat ini. Contoh serangan karakter melakukan kekerasan dalam rumah tangga, sering bertindak kasar terhadap istri, pernah melakukan tindak asusila di masa lalu, dan lain sebagainya, seharusnya dihindari. Serangan karakter adalah wilayah abu-abu dalam negative campign. Terkadang, sebagian orang sama sekali tidak menggunakannya, namun sebagian yang lain percaya bahwa character attacks dapat diterima selama mereka berhubungan langsung dengan kampanye.
            Dalam politik Indonesia dimana kampanye (positif) dilakukan dengan mengeksplorasi kelebihan calon dengan tak proforsional, narsis, berlebihan dan tak menggunakan argumentasi memadai, dan biasanya dilakukan oleh kandidat Kepala Daerah yang masih berkuasa. Iklan Politik berlebihan yang dilakukan para kandidat yang berkuasa tidak proforsional dan narsis menjelang pilkada, maka negative and black campign sangat berguna. Keduanya menyeimbangkan positive campign yang cendrung menyajikan kelebihan kandidat secara berlebihan dan tak proforsional.   
            Pada dasarnya, black campaign merupakan kampanye yang terselubung. Pelaku black campaign biasanya juga tidak memperlihatkan identitas seseorang ataupun kelompok politik. Isi dari black campaign pun tidak irasional dan tidak dapat dibahas secara terbuka, sehingga
kebanyakan khalayak akan menerima isi kampanye ini secara “bulat”, tanpa memproses dari isi kampanye hitam ini. Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari mengatakan black campaign (kampanye hitam) memang harus dihindari, tetapi negative campaign (kampanye negatif) justru perlu dipelihara. Negative campaign itu sangat penting, ujarnya di Jakarta (12/9). 
            Akan tetapi, dalam mendekati black campaign dan negative campaign ini, keduanya memang disikapi berbeda jika dikaitkan dengan proses transisi demokrasi Indonesia. Ada yang bersikap bahwa black campaign dan negative campaign tidak boleh  karena kontraproduktif terhadap proses demokrasi Indonesia. Black campaign dan negative campaign hanya akan menyebabkan perpecahan di masyarakat. Bisa memancing emosi massa dan berujung pada bentrok pendukung.  Di samping data yang tidak jelas, pelaku black campaign pun relatif tidak jelas. Padahal di Indonesia, selain koruptor merajalela, provokator pun tidak kalah banyaknya. Akan menjadi celah bagi mereka untuk lebih leluasa memanfaatkan keadaan untuk keuntungannya sendiri.
            Untuk negative campaign alasan yang cukup kuat bahwa kampanye ini tidak mendukung keberhasilan dalam pemenangan pemilu. Hal ini sesuai dengan salah satu riset yang dilakukan oleh Kevin Arceneaux (Temple University), dan David W. Nickerson (University of Notre Dame ) yang menyatakan bahwa….we detect no difference between negative and positive messages with regards to turnout or vote preference. Hampir tidak ada pengaruh negative campaign dalam kecenderungan pemilihan suara. Ditambah lagi tanggapan sinis bahwa daripada mengurusi “kelemahan-aib” kandidat lain, lebih baik memperbaiki kelemahan diri sendiri. Toh, sesuai dengan peribahasa semut di seberang tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak.
            Meskipun demikian, ada pula yang bersikap bahwa black campaign dan negative campaign itu boleh-boleh saja dalam demokrasi. Alasannya ialah pemilih juga rasional. Semakin baik kalau mereka mengetahui siapa sebenarnya kandidat tersebut. Ibaratnya jangan beli kucing dalam karung. Setiap kandidat, beserta tim suksesnya tentu hanyalah menonjolkan kebaikan-kelebihan yang dimiliki, namun menutup-nutupi kelemahan mereka.

PENUTUP
Black campaign menjadi suatu cerminan politik di Indonesia pada saat ini, dimana kampanye dilakukan tidak didasari sesuai dengan undang-undang dan etika yang berlaku. Kampanye merupakan suatu kegiatan dari calon, tim sukses partai atau kelompok-kelompok yang mendukung untuk meyakinkan masyarakat agar mau memilihnya untuk menjabat, dengan menawarkan atau menjanjikan apa yang akan dilakukan dalam program kerjanya. Kampanye
yang positif tidak boleh dilakukan dengan cara menghina seseorang, ras, suku, agama, golongan. Calon atau peserta pemilu serta menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.
            Akhirnya, di Indonesia fenomena black campaign terjadi karena tanpa disertai data dan fakta yang telah terbukti. Berbeda dengan negative campaign yang disertai bukti dan data yang jelas. Diproduksi dengan harapan untuk memenangkan perolehan suara dalam pemilu. Negative campaign secara rasional ingin mempengaruhi pemilih agar mempertimbangkan pilihannya terhadap para kandidat karena melihat kelemahan yang dimiliki oleh masing-masing kandidat. Kemudian lebih selektif dan bertanggung jawab atas pilihan yang mereka lakukan. Meskipun demikian, black campaign dan negative campaign malah bisa kontraproduktif terhadap transisi demokrasi karena cenderung berpotensi konflik dan memecah bangsa. Perlu hati-hati dan sangat beresiko untuk diterapkan.
            Selebihnya, kajian black campaign yang didekati secara informal menunjukkan signifikansi yang cukup besar terkait proses transisi demokrasi di Indonesia. Ternyata black campaign pun dapat dijadikan fenomena yang cukup menarik dalam menakar pemilu, menimbang demokrasi yang terjadi.

DAFTAR PUSTAKA
Penulis, Koirudin. 2004. Kilas Balik Pemilihan Presiden 2004 (Evaluasi Pelaksanaan, Hasil dan Masa Depan Demokrasi Pasca Pilpres 2004). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Penulis, Thompson, Penulis, Dennis F. 2002. Etika Politik Pejabat Negara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Penulis, Ardianto, Penulis, Elvinaro, dan Penulis, Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
Penulis, Budiardjo, Penulis, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Penulis, Budiman, Penulis, Kris. 2011. Semiotika Visual – Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas. Yogyakarta : Jalasutra
Penulis, Wibowo, Penulis, Indiwan Seto Wahyu. 2011. Semiotika Komunikasi-Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta : Mitra Wacana Media
Laely Wulandari, S.H., M.Hum. Makalah “Black campaign sebagai tindak pidana politik”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar